Oleh : Ilham Kurniadi, S.Tr.PAS., S.A.P.
(Kasubsi Bimkemas BKA Balai Pemasyarakatan Kelas I Jambi)
Anomali Demokrasi: Ketika Anak Turut Turun ke Jalan
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh penangkapan sejumlah anak di bawah umur yang ikut terlibat dalam aksi demonstrasi di depan Gedung DPR. Pemandangan ini bukan hal baru setiap kali gelombang massa turun ke jalan, selalu ada wajah-wajah belia yang ikut larut dalam arus. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: di mana batas antara hak berdemokrasi dan kewajiban melindungi anak?
Hak berdemonstrasi adalah bagian dari denyut nadi demokrasi. Konstitusi menjamin setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk melalui aksi turun ke jalan. Namun, jaminan ini kerap disalahartikan sebagai hak tanpa batas. Ketika anak-anak ikut aksi, persoalannya bukan lagi sekadar kebebasan berpendapat tetapi potensi pelanggaran hak anak.
BACA JUGA: Selain Rusak Gedung DPRD Provinsi Jambi, Demo Mahasiswa Juga Bakar Mobil Dinas
Kapasitas Anak dalam Aksi Massa
Anak tidak memiliki kapasitas penuh untuk memahami konsekuensi aksi politik. Mereka tidak paham risiko bentrokan, gas air mata, atau ancaman hukum bagi peserta demonstrasi. Secara psikologis, mereka juga belum matang dalam menimbang bahaya dan mengambil keputusan. Artinya, kehadiran mereka dalam aksi jalanan lebih sering merupakan hasil dorongan atau kelalaian orang dewasa, bukan kemauan bebas yang utuh.
Pertanyaan kritisnya: apakah membawa anak ke tengah demonstrasi benar-benar untuk memperjuangkan masa depan mereka, atau justru menyeret mereka ke arena konflik yang bukan tanggung jawab mereka? Jika jawabannya yang kedua, itu bukan lagi demokrasi, melainkan eksploitasi terselubung.
BACA JUGA: Demo Mahasiswa di Gedung DPRD Provinsi Jambi Ricuh, Kaca dan Sejumlah Fasilitas Dirusak
Antara Hak Demokrasi & Hak Perlindungan Anak
Konstitusi Indonesia memberikan dua jaminan penting sekaligus. Pertama, Pasal 28E UUD 1945 yang menegaskan kebebasan berpendapat dan berkumpul. Kedua, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak yang menegaskan hak setiap anak atas perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Dua hak ini sama-sama fundamental, dan negara berkewajiban menjamin keduanya.
Artinya, tidak boleh ada tafsir kebebasan berpendapat yang justru menginjak hak anak atas keselamatan. Hak demokrasi orang dewasa tidak bisa dijadikan dalih untuk membiarkan anak-anak menghadapi risiko di ruang publik yang penuh tensi politik.
Jika demonstrasi adalah bentuk perjuangan, perjuangan itu seharusnya berangkat dari keberanian dan kesadaran penuh orang dewasa. Anak-anak tidak seharusnya dijadikan tameng moral, apalagi alat untuk memancing simpati publik. Masyarakat yang matang akan menempatkan anak di ruang aman—di sekolah, di rumah, atau di tempat mereka bisa tumbuh dan belajar, bukan di bawah terik matahari aksi jalanan.
Tanggung Jawab Bersama
Perlindungan anak bukan hanya urusan polisi atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ia adalah tanggung jawab bersama—orang tua, masyarakat, dan negara. Aparat berwenang tentu harus menegakkan aturan dengan bijak, tetapi yang lebih penting adalah kesadaran masyarakat itu sendiri.
